PACAR vs SEPATU
Prologue :
Cerita
ini berawal ketika seorang teman meminta saya untuk menemaninya membeli
sepatu. Saya, sih, hayo aja diajakin nyari sepatu—itung-itung
jalan-jalan! Tapi kenyataannya, tidak mudah untuk memilih sepatu yang
cocok. Rencana rapi yang kami susun untuk hari itu malah berubah menjadi
“petualangan” penuh spontanitas. Bayangkan, selama kurang lebih enam
jam, kami berkeliling ke empat mal yang ada di Jakarta—bayangkan, empat
mal!—hanya dengan satu tujuan: mencari sepatu untuk teman saya.
Hasilnya, jangan ditanya, nihil—senihil-nihil-nya!
Dari
“petualangan” gatot—alias gagal total—kami, saya jadi terpikir untuk
membandingkan dua hal berbeda yang sepertinya sama sekali tidak
berhubungan. Dua hal yang kelihatannya sama sekali nggak punya
persamaan, but, actually, they do! They’re connected in someway. Yup,
they’re guys/gals and… shoes!
And Then the Story Goes….
“Jar, temenin gue cari sepatu, yuk, besok,” suara cempreng Ditha (nama disamarkan) terdengar bersemangat di seberang sana.
Langsung saja saya mengiyakan ajakannya. Lumayan, sudah lama saya nggak jalan-jalan ke mal.
Pelajaran pertama—yang baru saya sadari setelah “merenungkan”-nya baik-baik: Nyari sepatu nggak jauh beda dari nyari pacar
Keesokan
harinya, dengan semangat ’45, kami sudah siap “berburu” sepatu, padahal
jam tangan saya—eh, salah, jam-nya Ditha—baru menunjukkan tujuh menit
lewat dari pukul sepuluh pagi.
Pelajaran
kedua: Sebelum kamu memutuskan untuk mencari pacar, pastikan kalau kamu
sudah benar-benar siap dengan segala konsekuensinya: siap di-ribet-in
sama urusan-urusan pacar kamu, siap dicemburuin, siap berbagi, pokoknya
siap lahir-batin, deh!
“Kita ke Blok M aja,
ya,” kata Ditha, “Tau, nggak, dua minggu yang lalu, gue ke CL ama
sepupu gue. Trus, gue liat sepatu “lucu” di counter G-Shoes. Gue jadi
pengen beli sepatu itu, deh. Atau, seenggak-enggaknya, yang mirip kayak
gitu,” ia melanjutkan cerocos panjangnya.
Pelajaran ketiga: Biasanya, kita memang sudah punya “blue print” di otak
kita soal tipe ideal yang kita inginkan untuk menjadi pacar. Konsep
“cowok impian/cewek idaman” ini mungkin bisa membantu.
Seenggak-enggaknya, kita nggak bakalan bingung banget karena kita udah
punya referensi: cowok/cewek macam apa yang kita cari.
“Gue,
sih, hayo aja,” jawab saya, “Tapi kalo elo pengen beli sepatu yang di
G-Shoes CL, ngapain juga kita ke Blok M, kok nggak langsung ke CL aja?”
“Yee,
di Blok M, kan, lebih banyak pilihan. Gue mau “browsing” dulu, siapa
tau ada yang lebih “lucu.” Lagian, kan, di situ ada dua branch G-Shoes:
satu di BP, satu lagi di Grande. Kalo nggak ada yang gue taksir, ya…,
pulangnya kita ke CL: beli sepatu yang waktu itu gue liat,” teman saya
itu menerangkan latar belakang keputusannya.
Pffh, gawat ini, bakal muter-muter kayaknya, pikir saya waktu itu.
Pelajaran keempat: Browsing, itu kuncinya. Sebelum benar-benar
“mengikatkan diri” pada seseorang, ada baiknya kamu “lihat-lihat” dulu.
Nggak perlu buru-buru. Walaupun kadang melelahkan (hehehe… ), browsing
lumayan berguna, lho. Rumusnya berbanding lurus : the more you browse,
the more you know the types of guys or gals. Hehehe….
Akhirnya,
dengan pasrah, saya “membuntuti” Ditha “mengejar impian”-nya. Tujuan
pertama kami adalah Blok M Plaza. Sampai di sana, Ditha langsung
bergegas ke counter G-Shoes. Nihil. Sepatu impiannya tidak ada di sana.
Saya mencoba menyodorkan beberapa model sepatu lain, yang menurut saya
lumayan “lucu,” tapi ia menolak.
Setelah puas—sekaligus
kecewa—“meneliti” counter G-Shoes di BP, Ditha “menggiring” saya ke
counter G-Shoes di Grande. Hasilnya, idem. Lagi-lagi sepatu yang
dicarinya tidak ada, lagi-lagi saya “menawarkan” beberapa alternatif
sepatu yang ada di sana, dan lagi-lagi ia menolak.
Pelajaran kelima: Seperti macam-macam sepatu yang kami “pergoki” di dua
branch G-Shoes, tipe orang juga berbeda-beda. Model-model sepatu yang
ada di G-Shoes BP tidak kami temukan di Grande—walaupun mereka
diproduksi oleh perusahaan yang sama dan dijual di tempat yang
berdekatan. Begitu pula dengan cewek/cowok, they’re different... Jadi,
tinggal pintar-pintarnya kita aja ngadepin mereka. Different kind of
people means different kind of tactics. Hehehe….
“Ya
udah, Tha…. Emang model sepatu yang elo taksir itu nggak ada di sini,
mau diapain lagi,” saya mencoba menghiburnya, “Sekarang gini aja, deh,
kita makan dulu. Abis itu, kita ngelilingin semua counter sepatu di
Grande, siapa tau ada yang “lucu.” Kalo perlu kita balik lagi ke BP,
kelilingin counter-counter sepatu di sana juga. Kalo emang bener-bener
nggak ada yang “lucu,” kita ke CL, deh: beli sepatu impian lo itu.”
Saya pasrah. Whatever happens, happen-lah! Yang penting sekarang: makan dulu, perut saya keroncongan.
Selesai
makan, kami kembali berkeliling Grande. Semua counter sepatu, kami
masuki. Sudah berpuluh pasang sepatu saya sodorkan ke depan hidung teman
saya itu, tapi percuma, berpuluh pasang sepatu itu ia sambut dengan
gelengan. Saya hampir putus asa—dan lelah!
Belum puas
dengan Grande, Ditha memaksa saya untuk kembali ke BP. Busyet! Emang,
sih, jaraknya nggak terlalu jauh, tapi, kan, lumayan juga siang-siang
tengah hari bolong jalan kaki menyusuri trotoar dan jembatan
penyebrangan. Terik pula!
Sama persis kejadiannya, di BP,
kami menyatroni semua counter sepatu. Berpuluh pasang sepatu saya
sodorkan lagi ke depan hidungnya. Bedanya, saya tidak menerima gelengan
kepala kali ini. Dengan tampang cemberut, ia menuruti perintah saya
untuk mencoba beberapa pasang sepatu.
“Lumayan “lucu” sih,
tapi gue masih kebayang-bayang sepatu di G-Shoes itu. Ini juga modelnya
mirip, sih, dipakenya juga enak. Tapi, tetep aja gue pengennya sepatu
G-Shoes itu. Kita ke CL aja, ya, beli G-Shoes yang gue pengen.”
Saya putus asa dan menarik napas panjang.
Pelajaran selanjutnya: “Blue print” di otak kita terkadang bisa bikin
repot! Punya “blue print,” sih, boleh, tapi jangan sampai nyusahin diri
sendiri. Be flexible, jangan terlalu idealis-lah soal “tipe ideal.”
Nobody’s perfect, nggak ada orang yang bener-bener sama dengan impian
kita.
Bayang-bayang masa lalu
juga perlu dihilangkan, tuh! Jangan sampai kita terjebak ke dalam
prototipe tipe orang tertentu. Buat yang masih terbayang-bayang dan
“dihantui” sosok mantan pacar, atau bekas gebetan, forget it! Hapus dulu
“jejak langkah” mereka dalam pikiran dan hati kamu sebelum kamu memulai
cerita baru. Tenang aja, di luar sana, pasti banyak, kok, cowok dan
cewek yang lebih menarik dari mantan kamu. Dunia, kan, nggak selebar
daun kelor!
Dengan kesabaran yang hampir
habis, saya luluh juga sama rayuan teman saya. Akhirnya, saya nurut,
kami pergi ke CL. Sampai di sana, Ditha langsung ngacir ke counter
G-Shoes: “menjemput impian.” Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat
diraih, sepatu yang dilihatnya di counter ini, dua minggu yang lalu,
sudah lenyap tak berbekas!
“Wah, yang itu abis, Mbak.
Minggu lalu, sih, masih ada sepasang. Tapi karena di-discount, jadi,
ya…, cepet “ilang”-nya,” begitu keterangan SPG7 G-Shoes ketika Ayu
menanyakan sepatu yang “menghantui”-nya.
Saya tahu betul: Ditha ingin menangis.
Pelajaran
ke… (hmm, keberapa, nih?!) : Cowok/cewek memang terkadang mengesalkan.
Saat kita belum terpikir macam-macam, mereka sudah muncul. Ketika kita
mulai terbayang-bayang, mereka entah ada di mana, dan ketika kita baru
‘ngeh kalau kita menyukai mereka—atau bahkan jatuh cinta—mereka
benar-benar sudah menghilang! Sama, kan, ama kasusnya si Ditha, waktu
dia belum berminat membeli sepatu, ia menemukan sepatu yang “lumayan,”
giliran mau dibeli beneran, eh…, tuh sepatu udah sold-out.
Perkara di atas juga setipe sama perumpamaan: Gals/guys are like cabs,
when we ignore them, they’re everywhere; when we need them, they’re
nowhere. Kunci ngadepin perkara beginian: banyak-banyak berdoa. Hehehe…,
tenang aja. Kalau mereka beneran serius sama kita, mereka nggak bakal
ke mana-mana, kok. Jadi, let it flow aja, nggak usah maksain diri untuk
“berproses” dengan kilat. If they really love you, they will be waiting
for you no matter how long it is. Cieee, ciee…. Asal jangan kelamaan
aja! Bohong, tuh, lagunya Jikustik—Seribu Tahun Menunggu—mana ada coba,
yang mau lumutan nungguin sampai seribu tahun!? Hehehe….
“Sekarang
gini, deh,” di tengah makan siang babak kedua, di CL, saya menasehati
Ditha, “Kenapa, sih, elo harus beli sepatu yang itu?! Emang nggak bisa
apa beli yang laen aja? Gue udah capek, nih.”
Ditha cuma diam, cemberut.
Sabar…, sabar….
Percaya, atau tidak, selesai kami makan, Ditha menarik saya ke… Mal Taman Anggrek!!!
“Iya,
gue janji nggak bakal keinget ama tuh sepatu lagi. Tapi gue mau
browsing ke TA dulu. Mumpung udah di sini, TA, kan, deket. For the last
time, pleaseee….”
Seperti biasa, saya selalu mengiyakan saja.
Di TA, seperti sebelumnya, kami mengelilingi semua counter sepatu.
“Wah,
Jar, ternyata banyak juga, ya, sepatu-sepatu “lucu.” Kok gue, dari tadi
bisa nggak nyadar gini, ya?!” Ditha berkata dengan ringan, tanpa nada
bersalah.
Sekarang, saya yang ingin menangis.
Pelajaran kesekian: See?! Waktu kamu udah ngelepasin bayang-bayang yang
“nggak perlu” dari otak kamu (baca: bayang-bayang mantan pacar, dan
semacamnya), kamu akan dengan mudah menyadari kalau dunia ini indah,
kalau banyak cowok/cewek “lucu” dan worth it yang bisa kamu lirik.
Makanya, wake-up! Buang, tuh, semua cerita soal masa lalu. Start a new
beginning!
“Jar, yang ini lumayan “lucu,” ya?” Ditha meminta persetujuan saya.
Saya cuma mengangguk lemas, “Cobain, Tha.”
“Yaahh,”
nada suaranya terdengar kecewa setelah ia mencoba sepatu itu, dan
membawanya “berkeliling” counter, “Dipake-nya nggak enak, kayaknya
sedikit kekecilan, deh.”
“Yang ini malah kegedean,” Ditha bersuara lagi setelah mencoba sepatu bermodel sama, dengan ukuran setingkat lebih besar.
“Ya
udah, berarti bukan jodoh-lo,” saya berkata ringan sambil tersenyum.
Jujur saja, melihat raut kecewa di wajahnya kali itu—after all the
things she’s done to me—membawa kebahagiaan tersendiri buat saya.
Hehehe, emang enak!
Tadinya Ditha bersikeras untuk membeli
sepatu itu, tapi saya melarangnya. Daripada sebulan kemudian tuh sepatu
“masuk museum,” alias tidak terpakai lagi?!
Next: Seperti membeli sepatu, mencari pacar juga harus dipertimbangkan
masak-masak. Jangan pernah membeli sepatu yang tidak nyaman—sebagus apa
pun modelnya. Begitu juga pacar, nggak usah maksain kalau emang kalian
nggak cocok. Cari pacar yang bisa membuat kamu nyaman. Jangan sampai
kamu mengorbankan diri hanya untuk memiliki pacar. “Nggak papa, deh,
sakit sedikit, yang penting punya pacar keren:” Put it out of your mind,
girls! Jangan mencari pacar dengan alasan “daripada nggak ada.” Lebih
baik menunggu sedikit lebih lama untuk menemukan orang yang benar-benar
tepat. Selain itu, dalam pacaran, harus selalu ada win-win situation,
jadi sebelum memutuskan untuk membeli sepatu—eh, berpacaran—pastikan
dulu kalau calon pacar kamu benar-benar cocok dan kamu nggak akan
menyesal di kemudian hari.
Saya lelah. Kali ini, giliran saya yang menyeret Ditha: pulang!
Monologue:
Pffh,
saya pikir “petualangan sepatu” ini sudah berakhir. Tapi nyatanya saya
salah. Setelah empat mal kami jabanin dalam sehari, seminggu kemudian
Ditha menelepon saya lagi untuk perkara yang sama: mencari sepatu! Saya
akhirnya mengiyakan ajakannya, setelah saya mengajukan bermacam
persyaratan. Lagipula, selain nggak ada kerjaan, terus terang, saya
penasaran bagaimana “drama pencarian” ini akan berakhir. Jadilah saya
kembali mengawal Ditha ke mal.
The Second Episode….
“PIM,” jawab Ditha ceria ketika saya bertanya ke mana kami akan pergi hari itu.
Saya mendadak “nyut-nyut-an.” Teman saya ini memang anak mal sejati!
Berdasarkan
“pembuktian empiris” minggu lalu—hehehe—saya memutuskan untuk tidak
terlalu concern masalah pencarian sepatu kali ini, daripada capek dan
“sakit hati” sendiri! Hari itu saya memang mengawal Ditha mengelilingi
PIM, tapi saya juga nggak mau rugi. Sebelum Ditha “meneror” saya dengan
perburuannya yang tidak selesai-selesai, saya sudah lebih dulu
menerornya untuk menemani saya mencari kado dan membeli novel.
“Jar, yang ini aja, deh,” setelah sekian lama menekuri counter demi counter, Ditha akhirnya menentukan pilihan.
“Yang mana?” tanya saya sambil menghampirinya.
Ia cuma tersenyum centil sambil menunjuk kaki kanannya.
Saya
tersentak. Kaget, “Ya ampuuuuuun, Dithaaaa…, ini, sih, sepatu yang sama
ama waktu itu, yang pernah elo cobain di BP minggu lalu!” setengah
berteriak saya berkata. Jujur saja, saya shock, bisa-bisanya petualangan
mencari sepatu ini berakhir dengan sepatu yang sudah ditemuinya—ia
bahkan sudah mencobanya—sejak minggu lalu!
“Masak, sih?” as naive as always, suara Ditha terdengar.
Saya tambah shock!
Pelajaran, pelajaran, pelajaran: Hidup memang sangat tak tertebak.
Begitu juga perkara sepatu dan pacar. Entah nyadar, atau enggak, Ditha
akhirnya membeli sepatu yang sudah pernah dicobanya minggu lalu. Kasus
yang sama kadang terjadi untuk urusan pacar. Bisa saja, our
“prince/princess charming” ternyata adalah orang yang sudah pernah kita
temui—atau bahkan orang yang selama ini ada di sekeliling kita. Intinya,
setiap orang punya kesempatan yang sama untuk nantinya kita “jatuhi
cinta.” “Pangeran/putri” kita mungkin belum datang, tapi mungkin juga,
selama ini, ia sudah ada di sekeliling kita. It’s just a matter of time.
Buka mata lebar-lebar. Just be aware, who knows he/she’s already
around!
Epilogue:
Akhirnya,
setelah melalui perjalanan panjang, proses pencarian teman saya itu
berakhir dengan sukses. Happy ending. Kalau Ditha bisa sukses dengan
pencarian sepatunya, kita juga pasti bisa sukses dengan “proyek”
pencarian pacar. Hehehe…. Emang, sih, nggak semua kisah berakhir dengan
bahagia, yang penting adalah belajar dari kisah itu. Nggak usah panik
kalau A Knight in the Shining Armor-mu belum juga datang—walaupun kamu
sudah berusaha semaksimal mungkin untuk “membuka jendela kastil kamu
lebar-lebar.” Tenang aja, everything has its own time. Siapa tahu,
ketika kamu sudah lelah menanti di jendela kastil dan memutuskan untuk
menutupnya—udah malem juga, daripada masuk angin, hehehe—akan terdengar
ketukan di pintu kastil kamu. Dan ketika kamu membuka pintu, kamu akan
menemukan sesosok pangeran dengan kuda putihnya, asking you to try
another pair of the glass shoes. Hehehe….
**fa**
CL = Singkatan dari Citraland, sebuah mal di kawasan Slipi
BP = Singkatan dari Blok M Plaza
Grande Yang dimaksud adalah Pasaraya Grande
TA = Singkatan dari Taman Anggrek
PIM Singkatan dari Pondok Indah Mall.
---sebuah cerita sederhana di penghujung tahun 2008---