Jumat, 11 Februari 2011

How to Find Your Match in Life,

PACAR vs SEPATU

Prologue :

Cerita ini berawal ketika seorang teman meminta saya untuk menemaninya membeli sepatu. Saya, sih, hayo aja diajakin nyari sepatu—itung-itung jalan-jalan! Tapi kenyataannya, tidak mudah untuk memilih sepatu yang cocok. Rencana rapi yang kami susun untuk hari itu malah berubah menjadi “petualangan” penuh spontanitas. Bayangkan, selama kurang lebih enam jam, kami berkeliling ke empat mal yang ada di Jakarta—bayangkan, empat mal!—hanya dengan satu tujuan: mencari sepatu untuk teman saya. Hasilnya, jangan ditanya, nihil—senihil-nihil-nya!

Dari “petualangan” gatot—alias gagal total—kami, saya jadi terpikir untuk membandingkan dua hal berbeda yang sepertinya sama sekali tidak berhubungan. Dua hal yang kelihatannya sama sekali nggak punya persamaan, but, actually, they do! They’re connected in someway. Yup, they’re guys/gals and… shoes!

And Then the Story Goes….

“Jar, temenin gue cari sepatu, yuk, besok,” suara cempreng Ditha (nama disamarkan)  terdengar bersemangat di seberang sana.

Langsung saja saya mengiyakan ajakannya. Lumayan, sudah lama saya nggak jalan-jalan ke mal.

Pelajaran pertama—yang baru saya sadari setelah “merenungkan”-nya baik-baik: Nyari sepatu nggak jauh beda dari nyari pacar

Keesokan harinya, dengan semangat ’45, kami sudah siap “berburu” sepatu, padahal jam tangan saya—eh, salah, jam-nya Ditha—baru menunjukkan tujuh menit lewat dari pukul sepuluh pagi.

Pelajaran kedua: Sebelum kamu memutuskan untuk mencari pacar, pastikan kalau kamu sudah benar-benar siap dengan segala konsekuensinya: siap di-ribet-in sama urusan-urusan pacar kamu, siap dicemburuin, siap berbagi, pokoknya siap lahir-batin, deh!

“Kita ke Blok M aja, ya,” kata Ditha, “Tau, nggak, dua minggu yang lalu, gue ke CL ama sepupu gue. Trus, gue liat sepatu “lucu” di counter G-Shoes. Gue jadi pengen beli sepatu itu, deh. Atau, seenggak-enggaknya, yang mirip kayak gitu,” ia melanjutkan cerocos panjangnya.

Pelajaran ketiga: Biasanya, kita memang sudah punya “blue print” di otak kita soal tipe ideal yang kita inginkan untuk menjadi pacar. Konsep “cowok impian/cewek idaman” ini mungkin bisa membantu. Seenggak-enggaknya, kita nggak bakalan bingung banget karena kita udah punya referensi: cowok/cewek macam apa yang kita cari.

“Gue, sih, hayo aja,” jawab saya, “Tapi kalo elo pengen beli sepatu yang di G-Shoes CL, ngapain juga kita ke Blok M, kok nggak langsung ke CL aja?”

“Yee, di Blok M, kan, lebih banyak pilihan. Gue mau “browsing” dulu, siapa tau ada yang lebih “lucu.” Lagian, kan, di situ ada dua branch G-Shoes: satu di BP, satu lagi di Grande. Kalo nggak ada yang gue taksir, ya…, pulangnya kita ke CL: beli sepatu yang waktu itu gue liat,” teman saya itu menerangkan latar belakang keputusannya.

Pffh, gawat ini, bakal muter-muter kayaknya, pikir saya waktu itu.

Pelajaran keempat: Browsing, itu kuncinya. Sebelum benar-benar “mengikatkan diri” pada seseorang, ada baiknya kamu “lihat-lihat” dulu. Nggak perlu buru-buru. Walaupun kadang melelahkan (hehehe… ), browsing lumayan berguna, lho. Rumusnya berbanding lurus : the more you browse, the more you know the types of guys or gals. Hehehe….

Akhirnya, dengan pasrah, saya “membuntuti” Ditha “mengejar impian”-nya. Tujuan pertama kami adalah Blok M Plaza. Sampai di sana, Ditha langsung bergegas ke counter G-Shoes. Nihil. Sepatu impiannya tidak ada di sana. Saya mencoba menyodorkan beberapa model sepatu lain, yang menurut saya lumayan “lucu,” tapi ia menolak.

Setelah puas—sekaligus kecewa—“meneliti” counter G-Shoes di BP, Ditha “menggiring” saya ke counter G-Shoes di Grande. Hasilnya, idem. Lagi-lagi sepatu yang dicarinya tidak ada, lagi-lagi saya “menawarkan” beberapa alternatif sepatu yang ada di sana, dan lagi-lagi ia menolak.

Pelajaran kelima: Seperti macam-macam sepatu yang kami “pergoki” di dua branch G-Shoes, tipe orang juga berbeda-beda. Model-model sepatu yang ada di G-Shoes BP tidak kami temukan di Grande—walaupun mereka diproduksi oleh perusahaan yang sama dan dijual di tempat yang berdekatan. Begitu pula dengan cewek/cowok, they’re different... Jadi, tinggal pintar-pintarnya kita aja ngadepin mereka. Different kind of people means different kind of tactics. Hehehe….

“Ya udah, Tha…. Emang model sepatu yang elo taksir itu nggak ada di sini, mau diapain lagi,” saya mencoba menghiburnya, “Sekarang gini aja, deh, kita makan dulu. Abis itu, kita ngelilingin semua counter sepatu di Grande, siapa tau ada yang “lucu.” Kalo perlu kita balik lagi ke BP, kelilingin counter-counter sepatu di sana juga. Kalo emang bener-bener nggak ada yang “lucu,” kita ke CL, deh: beli sepatu impian lo itu.”

Saya pasrah. Whatever happens, happen-lah! Yang penting sekarang: makan dulu, perut saya keroncongan.

Selesai makan, kami kembali berkeliling Grande. Semua counter sepatu, kami masuki. Sudah berpuluh pasang sepatu saya sodorkan ke depan hidung teman saya itu, tapi percuma, berpuluh pasang sepatu itu ia sambut dengan gelengan. Saya hampir putus asa—dan lelah!

Belum puas dengan Grande, Ditha memaksa saya untuk kembali ke BP. Busyet! Emang, sih, jaraknya nggak terlalu jauh, tapi, kan, lumayan juga siang-siang tengah hari bolong jalan kaki menyusuri trotoar dan jembatan penyebrangan. Terik pula!

Sama persis kejadiannya, di BP, kami menyatroni semua counter sepatu. Berpuluh pasang sepatu saya sodorkan lagi ke depan hidungnya. Bedanya, saya tidak menerima gelengan kepala kali ini. Dengan tampang cemberut, ia menuruti perintah saya untuk mencoba beberapa pasang sepatu.

“Lumayan “lucu” sih, tapi gue masih kebayang-bayang sepatu di G-Shoes itu. Ini juga modelnya mirip, sih, dipakenya juga enak. Tapi, tetep aja gue pengennya sepatu G-Shoes itu. Kita ke CL aja, ya, beli G-Shoes yang gue pengen.”

Saya putus asa dan menarik napas panjang.

Pelajaran selanjutnya: “Blue print” di otak kita terkadang bisa bikin repot! Punya “blue print,” sih, boleh, tapi jangan sampai nyusahin diri sendiri. Be flexible, jangan terlalu idealis-lah soal “tipe ideal.” Nobody’s perfect, nggak ada orang yang bener-bener sama dengan impian kita.

Bayang-bayang masa lalu juga perlu dihilangkan, tuh! Jangan sampai kita terjebak ke dalam prototipe tipe orang tertentu. Buat yang masih terbayang-bayang dan “dihantui” sosok mantan pacar, atau bekas gebetan, forget it! Hapus dulu “jejak langkah” mereka dalam pikiran dan hati kamu sebelum kamu memulai cerita baru. Tenang aja, di luar sana, pasti banyak, kok, cowok dan cewek yang lebih menarik dari mantan kamu. Dunia, kan, nggak selebar daun kelor!

Dengan kesabaran yang hampir habis, saya luluh juga sama rayuan teman saya. Akhirnya, saya nurut, kami pergi ke CL. Sampai di sana, Ditha langsung ngacir ke counter G-Shoes: “menjemput impian.” Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, sepatu yang dilihatnya di counter ini, dua minggu yang lalu, sudah lenyap tak berbekas!

“Wah, yang itu abis, Mbak. Minggu lalu, sih, masih ada sepasang. Tapi karena di-discount, jadi, ya…, cepet “ilang”-nya,” begitu keterangan SPG7 G-Shoes ketika Ayu menanyakan sepatu yang “menghantui”-nya.

Saya tahu betul: Ditha ingin menangis.

Pelajaran ke… (hmm, keberapa, nih?!) : Cowok/cewek memang terkadang mengesalkan. Saat kita belum terpikir macam-macam, mereka sudah muncul. Ketika kita mulai terbayang-bayang, mereka entah ada di mana, dan ketika kita baru ‘ngeh kalau kita menyukai mereka—atau bahkan jatuh cinta—mereka benar-benar sudah menghilang! Sama, kan, ama kasusnya si Ditha, waktu dia belum berminat membeli sepatu, ia menemukan sepatu yang “lumayan,” giliran mau dibeli beneran, eh…, tuh sepatu udah sold-out.

Perkara di atas juga setipe sama perumpamaan: Gals/guys are like cabs, when we ignore them, they’re everywhere; when we need them, they’re nowhere. Kunci ngadepin perkara beginian: banyak-banyak berdoa. Hehehe…, tenang aja. Kalau mereka beneran serius sama kita, mereka nggak bakal ke mana-mana, kok. Jadi, let it flow aja, nggak usah maksain diri untuk “berproses” dengan kilat. If they really love you, they will be waiting for you no matter how long it is. Cieee, ciee…. Asal jangan kelamaan aja! Bohong, tuh, lagunya Jikustik—Seribu Tahun Menunggu—mana ada coba, yang mau lumutan nungguin sampai seribu tahun!? Hehehe….

“Sekarang gini, deh,” di tengah makan siang babak kedua, di CL, saya menasehati Ditha, “Kenapa, sih, elo harus beli sepatu yang itu?! Emang nggak bisa apa beli yang laen aja? Gue udah capek, nih.”

Ditha cuma diam, cemberut.

Sabar…, sabar….

Percaya, atau tidak, selesai kami makan, Ditha menarik saya ke… Mal Taman Anggrek!!!

“Iya, gue janji nggak bakal keinget ama tuh sepatu lagi. Tapi gue mau browsing ke TA dulu. Mumpung udah di sini, TA, kan, deket. For the last time, pleaseee….”

Seperti biasa, saya selalu mengiyakan saja.

Di TA, seperti sebelumnya, kami mengelilingi semua counter sepatu.

“Wah, Jar, ternyata banyak juga, ya, sepatu-sepatu “lucu.” Kok gue, dari tadi bisa nggak nyadar gini, ya?!” Ditha berkata dengan ringan, tanpa nada bersalah.

Sekarang, saya yang ingin menangis.

Pelajaran kesekian: See?! Waktu kamu udah ngelepasin bayang-bayang yang “nggak perlu” dari otak kamu (baca: bayang-bayang mantan pacar, dan semacamnya), kamu akan dengan mudah menyadari kalau dunia ini indah, kalau banyak cowok/cewek “lucu” dan worth it yang bisa kamu lirik. Makanya, wake-up! Buang, tuh, semua cerita soal masa lalu. Start a new beginning!

“Jar, yang ini lumayan “lucu,” ya?” Ditha meminta persetujuan saya.

Saya cuma mengangguk lemas, “Cobain, Tha.”

“Yaahh,” nada suaranya terdengar kecewa setelah ia mencoba sepatu itu, dan membawanya “berkeliling” counter, “Dipake-nya nggak enak, kayaknya sedikit kekecilan, deh.”

“Yang ini malah kegedean,” Ditha bersuara lagi setelah mencoba sepatu bermodel sama, dengan ukuran setingkat lebih besar.

“Ya udah, berarti bukan jodoh-lo,” saya berkata ringan sambil tersenyum. Jujur saja, melihat raut kecewa di wajahnya kali itu—after all the things she’s done to me—membawa kebahagiaan tersendiri buat saya. Hehehe, emang enak!

Tadinya Ditha bersikeras untuk membeli sepatu itu, tapi saya melarangnya. Daripada sebulan kemudian tuh sepatu “masuk museum,” alias tidak terpakai lagi?!

Next: Seperti membeli sepatu, mencari pacar juga harus dipertimbangkan masak-masak. Jangan pernah membeli sepatu yang tidak nyaman—sebagus apa pun modelnya. Begitu juga pacar, nggak usah maksain kalau emang kalian nggak cocok. Cari pacar yang bisa membuat kamu nyaman. Jangan sampai kamu mengorbankan diri hanya untuk memiliki pacar. “Nggak papa, deh, sakit sedikit, yang penting punya pacar keren:” Put it out of your mind, girls! Jangan mencari pacar dengan alasan “daripada nggak ada.” Lebih baik menunggu sedikit lebih lama untuk menemukan orang yang benar-benar tepat. Selain itu, dalam pacaran, harus selalu ada win-win situation, jadi sebelum memutuskan untuk membeli sepatu—eh, berpacaran—pastikan dulu kalau calon pacar kamu benar-benar cocok dan kamu nggak akan menyesal di kemudian hari.

Saya lelah. Kali ini, giliran saya yang menyeret Ditha: pulang!

Monologue:

Pffh, saya pikir “petualangan sepatu” ini sudah berakhir. Tapi nyatanya saya salah. Setelah empat mal kami jabanin dalam sehari, seminggu kemudian Ditha menelepon saya lagi untuk perkara yang sama: mencari sepatu! Saya akhirnya mengiyakan ajakannya, setelah saya mengajukan bermacam persyaratan. Lagipula, selain nggak ada kerjaan, terus terang, saya penasaran bagaimana “drama pencarian” ini akan berakhir. Jadilah saya kembali mengawal Ditha ke mal.

The Second Episode….

“PIM,” jawab Ditha ceria ketika saya bertanya ke mana kami akan pergi hari itu.

Saya mendadak “nyut-nyut-an.” Teman saya ini memang anak mal sejati!

Berdasarkan “pembuktian empiris” minggu lalu—hehehe—saya memutuskan untuk tidak terlalu concern masalah pencarian sepatu kali ini, daripada capek dan “sakit hati” sendiri! Hari itu saya memang mengawal Ditha mengelilingi PIM, tapi saya juga nggak mau rugi. Sebelum Ditha “meneror” saya dengan perburuannya yang tidak selesai-selesai, saya sudah lebih dulu menerornya untuk menemani saya mencari kado dan membeli novel.

“Jar, yang ini aja, deh,” setelah sekian lama menekuri counter demi counter, Ditha akhirnya menentukan pilihan.

“Yang mana?” tanya saya sambil menghampirinya.

Ia cuma tersenyum centil sambil menunjuk kaki kanannya.

Saya tersentak. Kaget, “Ya ampuuuuuun, Dithaaaa…, ini, sih, sepatu yang sama ama waktu itu, yang pernah elo cobain di BP minggu lalu!” setengah berteriak saya berkata. Jujur saja, saya shock, bisa-bisanya petualangan mencari sepatu ini berakhir dengan sepatu yang sudah ditemuinya—ia bahkan sudah mencobanya—sejak minggu lalu!

“Masak, sih?” as naive as always, suara Ditha terdengar.

Saya tambah shock!

Pelajaran, pelajaran, pelajaran: Hidup memang sangat tak tertebak. Begitu juga perkara sepatu dan pacar. Entah nyadar, atau enggak, Ditha akhirnya membeli sepatu yang sudah pernah dicobanya minggu lalu. Kasus yang sama kadang terjadi untuk urusan pacar. Bisa saja, our “prince/princess charming” ternyata adalah orang yang sudah pernah kita temui—atau bahkan orang yang selama ini ada di sekeliling kita. Intinya, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk nantinya kita “jatuhi cinta.” “Pangeran/putri”  kita mungkin belum datang, tapi mungkin juga, selama ini, ia sudah ada di sekeliling kita. It’s just a matter of time. Buka mata lebar-lebar. Just be aware, who knows he/she’s already around!

Epilogue:

Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang, proses pencarian teman saya itu berakhir dengan sukses. Happy ending. Kalau Ditha bisa sukses dengan pencarian sepatunya, kita juga pasti bisa sukses dengan “proyek” pencarian pacar. Hehehe…. Emang, sih, nggak semua kisah berakhir dengan bahagia, yang penting adalah belajar dari kisah itu. Nggak usah panik kalau A Knight in the Shining Armor-mu belum juga datang—walaupun kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk “membuka jendela kastil kamu lebar-lebar.” Tenang aja, everything has its own time. Siapa tahu, ketika kamu sudah lelah menanti di jendela kastil dan memutuskan untuk menutupnya—udah malem juga, daripada masuk angin, hehehe—akan terdengar ketukan di pintu kastil kamu. Dan ketika kamu membuka pintu, kamu akan menemukan sesosok pangeran dengan kuda putihnya, asking you to try another pair of the glass shoes. Hehehe….

**fa**

CL = Singkatan dari Citraland, sebuah mal di kawasan Slipi

BP = Singkatan dari Blok M Plaza

Grande Yang dimaksud adalah Pasaraya Grande

TA = Singkatan dari Taman Anggrek

PIM Singkatan dari Pondok Indah Mall.

---sebuah cerita sederhana di penghujung tahun 2008---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar